Tak pernah kusangka, aku akan
seperti ini. Mungkin orang-orang menyangka bahwa perjalanan panjang Tarbiyah ini berawal dari kampus hijau
UNJ, yang orang-orang sebut sebagai pesantren itu. Memang benar. Aku terbentuk
di UNJ. Tapi kalau ditarik benang
merahnya, ada sosok perempuan hebat di balik itu semua. Pasti kalian akan
menjawab ibuku. Ya, ibu kandungku memang yang pertama. Tapi aku punya ibu lain
yang tak kalah hebat. Dia dipanggil orang-orang sensei.
Sensei dalam bahasa Jepang
berarti guru. Sensei Aning Suwarjo adalah guru Bahasa Jepang di SMK N 57
Jakarta, tempat aku menuntut ilmu empat tahun silam. Ketika diajarnya, aku
duduk di tahun ketiga. Awalnya aku merasa aneh dengan perempuan itu. Kenapa?
Kenapa kerudungnya panjang? Sedangkan SMK ku yang notabene SMIP (Sekolah
Menengah Ilmu Pariwisata) itu menuntut para siswanya untuk tidak menggunakan
kerudungnya, apalagi kalau sudah terjun di tempat kerja. Lihat saja, yang pakai
kerudung hanya satu atau dua. Itupun harus dibuka ketika Praktek Kerja
Lapangan. Itu salah satu alasanku menunda memakai kerudung kala itu.
Hari pertama diajarnya, aku
sempat berfikir. Orang-orang seperti dia mungkin saja teroris. Hari kedua,
ketiga, bahkan minggu berikutnya, aku masih berfikir seperti itu. Astagfirullah… Tapi minggu-minggu
selanjutnya aku mulai mengenal karakternya. Ia selalu menyisipkan hikmah di
balik setiap perkataannya. Dia tidak seperti guru lain yang memarahi. Tapi
malah menasihati. Dia tidak menggurui tapi memberi arti. Dia tidak memaksakan
tapi mengarahkan. Dia sungguh berbeda dari guruku yang lain.
Aku sangat tertarik dengan
pendapatnya. Di kala guru SMIP berpendapat bahwa dengan bekerja tanpa menutup
aurat akan mendatangkan banyak harta. Maka dia berpendapat, “Rezeki itu sudah
ada yang ngatur lho, dengan menutup aurat pun kalau memang Allah berkehendak
maka terjadilah”.
Aku semakin tertarik padanya. Tiap
istirahat shalat Jum’at, ia selalu mengarahkan siswi-siswi untuk mentoring.
Padahal, setauku ia tidak dibayar untuk mementoringi orang. Akupun salah satu
yang menolaknya. Aku kunci pintu ruang kelasku dan malah mendengarkan musik
bersama teman-teman putri sekelas Ya, walau aku selalu menolak dimentoringi,
usaha kerasnya menjadi cambuk bagiku sekarang. Aku jadi semangat mementoringi
dan dimentoringi anak-anak kampusku. Ternyata, nikmatnya tiada tara. Karena
Allahlah yang langsung membayar jasa kita.
Maka semakin lama aku semakin terkesan
dengannya. Sempat terbersit keinginan untuk memakai kerudung kala itu. Namun,
kuurungkan. Karena rasa cintaku terhadap uang mengalahkan rasa cintaku terhadap
Allah. Fikirku, kalau aku pakai kerudung waktu itu, maka tidak akan ada yang
menerimaku untuk bekerja.
Momen terdekatku dengannya
semakin terasa ketika bulan Ramadhan tahun 2009 lalu. Dengan usaha kerasnya
membujuk teman-temanku yang bandel untuk Mabit, akhirnya kami satu kelas
bermalam di sebuah masjid di sebelah rumah sensei. Ada yang menyiapkan untuk
berbuka, ada yang menyiapkan untuk sahur besok paginya, ada yang menyiapkan
untuk kultum bahkan akhirnya ada juga yang menyiapkan diri menjadi imam. Subhanallah… Betapa langkanya acara
seperti itu di kalangan anak perhotelan aku rasa. (Walaupun pada beberapa
kesempatan, aku tahu ada temanku yang merokok atau pacaran di pojokan)
Rasa cintaku kepadaNya mulai
bangkit lagi ketika teman-teman terdekatku memakai kerudungan. Ya, hal itu
semakin menebalkan imanku. Namun, kala libur UN aku futur lagi. Libur UN adalah
ladang uang bagiku untuk bekerja paruh waktu. Dan aku harus mengurungkan niatku
untuk menutup auratku.
Tapi mungkin Allah berkehendak
lain. Hidayah itu datang padaku. Aku tak bisa menolaknya. Aku dipaksa ayahku
untuk masuk UNJ. Akhirnya aku masuk ke lembah cinta. Dimana aku bertemu dengan
teman-temanku. Aku mulai kenal Islam. Rasa penguatan itu hadir lagi setelah
sensei tidak lagi terus di sampngku. Aku terus membenarkan tutup auratku ini.
Semoga keistiqomahan ini akan terus bersamaku. Seperti sensei dan cintanya yang
tak pernah pudar padaku, salah satu dari ratusan anak-anaknya.